Sabtu, 29 Agustus 2009

Stress could lead to memory problems and disease

Everybody wants to have good memory, since it enables one to remember important facts and information. This writing is the continuation of my previous writings related to the ways of boosting one’s memory.

I’ve helped so many individual from all walks of life, students to professionals, to boost their memory. Based on my experience as a mind coach, to have good memory, not only individual must know the principles and tools of memory boosting, but one should also protects himself from chronic exposure to emotional stressor. This fact surely easy to understand since everybody must have situations when they forget the information they should remember in the moment of stress. Situation like school/university test, job interview and others alike might cause stress to individuals. Maybe you have a situation like one of my client, a university student. Often times the night before test he learned really hard. But by the time he was in the class room, having the test paper on his hand, the answers like vanished from his mind. The “miracle” happened when the test’s over, as he went out the class, all of sudden the answers came on his mind one by one. But at that time, it’s already too late since the answer sheet already submitted.

This phenomenon is what I called as “the non-technical factors” that cause student getting poor grade. It’s called non-technical because it’s not related to one’s ability on certain subject. I would say the situation where student gets poor grade 80% is caused by non-technical factors while 20% caused by technical counterpart (related to one ability on certain subject). But ironically, most students put 80% of their resources handling the technical factors while the rest 20% they use to solve the non-technical factors. This answers why the best students of the class would remain the same on every semester, as well as the worst students, regardless on how hard they’ve studied.

It’s very much important for students to be able to control his mind in responding to the stressful situation. The recent study on neuroscience also emphasis on the importance of stress management to have good memory.

Simply being prone to worry and tension can cause memory problems in old age, another recent study shows. Robert Wilson and his colleagues at Rust University Medical Center in Chicago evaluated the distress susceptibility of more than 1,000 elderly people by rating their agreement such as “I am often tense and jittery.” Over a period of up to 12 years, volunteers who were anxiety-prone had a 40 percent higher risk of developing mild cognitive impairment than more easygoing individual did. Mild cognitive impairment is thought to be a precursor for Alzheimer’s.

Brain autopsies on participants who have died did not turn up evidence of neurofibrillary tangles or any of the other knows features indicative of Alzheimer’s, Wilson says. But the thinks it is possible that chronic distress gradually compromises memory systems, ultimately rendering a person more vulnerable to the physical changes in the brain associated with Alzheimer’s.

Improving Concentration

No one would argue that concentration is a must in each activity one’s undergoing, in work and daily life. Although all of us have already known about this immutable fact, in the contrary, there are still numerous individuals out there who cannot concentrate very well, regardless of their sex, age and other parameters. This phenomenon can be understood since there’s no curriculum in the formal education that is specifically designed to discuss about concentration. In other words, since early age, most pupils have no ideas of what concentration is all about. The inability to concentrate would make one can not give optimal performance in his/her activity, which led to mediocre results.

There are many methods that we can do to improve our ability to concentrate. Because concentration is very much related to the state of mind, therefore you can only develop your concentration by training your mind. One of the ways is through meditation. There are many sources from where you can learn to master meditation, e.g. books, websites etc. The most prominent aspect in mastering it is consistency and perseverance. You might not master meditation in short time, but don’t be discouraged. If you keep train yourself, soon enough meditation would be second nature to you. It surely takes discipline, like mastering any other skills.

There are many factors that contribute to one’s inability to concentrate. One of which has something to do with pain, more specifically headache. Maybe you are one of many who have this problem and you’ve tried so hard and for so long to come out with a real solution. In that case this recent study might help you to overcome your problem.

Everyone knows that it is impossible to concentrate with a splitting headache, but now neuroscientists can explain why. Researchers at the University Medical Center Hamburg-Eppendorf in Germany have identified a region of the brain that processes both working memory and pain, and it seems to give preference to painful stimuli. Using functional

Magnetic Resonance Imaging (fMRI), the researchers found that applying pain to volunteers hand increased activity in brain areas involved in pain processing, while decreasing activity in areas that working on the assigned visual test.

Ulrike Bingel, who led the study, says the work might have implications for pain management. When doctors decide whether to use strong painkillers such as opiates, they weigh the cognitive side effects of treatment, Bingel says, do not always consider that the pain itself can interfere with mental function.

Senin, 13 Oktober 2008

Conscious Competence Learning Model (CCLM)

Salah satu model yang paling elegan guna menjelaskan dinamika pembelajaran individu adalah Conscious Competence Learning Matrix (CCLM). Model ini dikembangkan oleh Gordon Training International (GTI) pada sekitar tahun 1970-an. CCLM menjelaskan proses dan tahapan dari proses pembelajaran suatu kemampuan baru (prilaku, teknik atau yang lainnya). Model ini sering pula disebut sebagai ‘conscious competence learning model’ atau ‘conscious competence ladder’. Apapun sebutannya, CCLM merupakan penjelasan paling sederhana mengenai bagaimana individu belajar sekaligus menjelaskan bahwa pembelajaran pada individu terjadi dalam tahapan. Dalam setiap program pelatihan di PRIMASTUDY, kami selalu mengacu pada model pembelajaran ini.

CCLM dibagi menjadi empat tahapan; tahap 1 – ‘unconscious incompetence’; dan tahap 2 – ‘conscious incompetence’; tahap 3 - ‘consicous competence’ dan tahap 4 – ‘unconscious competence’. Umumnya individu memulai proses pembelajarannya pada tahap 1 – ‘unconscious incompetence’, dan berakhir pada tahap 4 – ‘unconscious competence’, setelah melalui tahap 2 – ‘conscious incompetence’ dan tahap 3 - ‘consicous competence’.

Kebanyakan pengajar dan pelatih berasumsi bahwa individu pembelajar telah berada di tahap 2, dan mereka memfokuskan usahanya untuk pencapaian tahap 3. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah individu masih berada di tahap 1. Pelatih berasumsi bahwa individu telah menyadari keberadaan kemampuan, relevansi, kekurangan serta keuntungan yang ditawarkan dari akuisisi suatu kemampuan baru. Sementara yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya, individu masih berada di tahap 1 - unconscious competence – tidak memiliki berbagai hal tersebut, sehingga tentu saja tidak akan mampu mencapai tahap conscious competence. Di lain pihak, individu pun merasa bahwa dirinya tidak memiliki kekurangan atau kebutuhan pada kemampuan baru yang ditawarkan. Hal ini merupakan alasan utama dari kegagalan yang sering terjadi pada program pelatihan dan pengajaran.

Di PRIMASTUDY, dalam program pelatihan diberikan, kami menggunakan CCLM guna meminimalkan resiko yang mungkin muncul, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya .

Jika kesadaran akan kemampuan dan kekurangan relatif masih rendah atau bahkan tidak ada – misalnya individu berada pada kondisi unconscious incompetence – individu tidak mampu menyadari kebutuhan untuk belajar. Penting bagi pengajar untuk membangun kesadaran terkait kelemahan atau kebutuhan akan pelatihan yang ditawarkan (conscious incompetence) sebelum memberikan program pelatihan untuk memudahkan mengarahkan individu dari tahap 2 ke tahap 3.

Individu hanya merespon pada program pelatihan ketika telah menyadari kebutuhan akan program tersebut dan keuntungan personal yang dapat mereka peroleh.

Karakteristik masing-masing tahap

Perpindahan individu berawal dari kuadran 1 melalui kuadran 2, 3 dan berakhir di kuadran 4. Tidaklah mungkin melakukan lompatan tahapan yang dramatis, dari tingkat yang paling dasar menuju tingkat paling akhir. Namun demikian pada beberapa kemampuan, umumnya pada tingkat yang lanjut, sangat dimungkinkan bagi individu untuk mundur ke tahap sebelumnya, umumnya dari tahap 4 ke tahap 3, atau dari tahap 3 ke tahap 2, jika ia gagal melatih dan menguji kemampuan barunya. Individu yang mundur dari tahap 4, kembali ke tahap 3 dan 2, perlu mengembangkan kembali kemampuannya melalui tahap 3 guna mencapai tahap 4, unconscious competence. Pun demikian, pada beberapa jenis kemampuan, penguasaan hingga tahap 3, conscious competence dianggap telah cukup memadai.

Perkembangan dari tahap ke tahap sering kali diiringi dengan suatu sensasi pencerahan – ketika individu mendapati sensasi ‘aha’ – ketika individu merasa telah melakukan suatu lompatan besar.

Tentunya setiap individu memiliki preferensi. Setiap individu mendapati bahwa perkembangan ke tahap 3 atau tahap 4, lebih mudah pada beberapa kemampuan dibandingkan kemampuan lainnya. Beberapa individu ‘menolak’ berlanjut ke tahap 2, karena mereka menolak untuk menerima relevansi atau keuntungan dari suatu kemampuan. Tentu saja pada situasi ini individu tidak dapat berkembang ke tahap 3. Pelatih perlu menemukan strategi lain yang cocok untuk situasi ini.

Individu mengembangkan kompetensi hanya setelah mengenali relevansi dari ketidakmampuannya terkait suatu kemampuan.

Karakteristik dari masing-masing tahapan pembelajaran diberikan sebagai berikut:

Tahap 1: Unconscious incompetence

- Individu tidak menyadari kehadiran atau relevansi terkait suatu kemampuan

- Individu tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki kekurangan terkait suatu kemampuan

- Individu mungkin menolak relevansi atau kegunaan dari suatu kemampuan

- Individu harus terlebih dahulu sadar akan ketidakmampuannya sebelum pengembangan kemampuan baru dapat dimulai

- Tujuan dari individu dan pelatih adalah memindahkan individu ke tahap ‘conscious competence’, dan menunjukan kebutuhan dan manfaat dari kemampuan baru

Tahap 2: Consicous incompetence

- Individu sadar akan keberadaan dan relevansi dari suatu kemampuan

- Individu sadar akan kekurangannya terkait kemampuan baru dan idealnya akan mencoba melakukannya

- Individu menyadari dengan memahami kemampuan baru yang ditawarkan dapat meningkatkan efektifitasnya

- Idealnya individu memiliki pemahaman mengenai kekurangannya pada suatu kemampuan dan pada level mana kemampuan tersebut dibutuhkannya.

- Individu idealnya membuat komitmen untuk mempelajari dan melatih kemampuan barunya, dan berpindah ke tahap selanjutnya, ‘conscious competence

Tahap 3: Conscious Competence

- Individu mampu melakukan kemampuan baru secara diniatkan

- Individu membutuhkan konsentrasi dan berpikir dalam melakukan suatu kemampuan

- Individu telah mampu melakukan suatu kemampuan tanpa dibantu

- Individu tidak akan mampu melakukan suatu kemampuan sebelum memikirkannya terlebih dahulu – kemampuan tersebut belum menjadi ‘kebiasaan baru’ atau dapat berlangsung secara otomatis

- Individu mampu melakukan suatu kemampuan dan mempertunjukannya pada individu lain, namun belum mampu mengajarkannya secara optimal

- Individu idealnya perlu terus melatih kemampuan barunya, dan melakukannya terus hingga ke tahap ‘unconscious competent

- Penggunaan berkelanjutan merupakan cara yang paling efektif untuk berlanjut dari tahap 3 ke tahap 4

Tahap 4: Unconscious competence

- Kemampuan telah menjadi sangat terlatih hingga mampu berpenetrasi ke pikiran luar sadar dan menjadi kebiasaan baru

- Contoh yang awam terkait tahapan ini adalah kemampuan menyetir, aktifitas olahraga, mengetik, keterampilan tangan, mendengarkan dan komunikasi

- Sangat dimungkinkan untuk melakukan suatu kemampuan sementara melakukan aktifitas lain, misalnya merajut sambil bernyanyi dan mendengarkan musik, melakukan pengingatan yang dramatis (melalui program Prima Memory dan PRIMASTUDY) sementara terlibat dalam perbincangan

- Individu mampu mengajarkan kemampuannya pada individu lain, walaupun setelah periode waktu tertentu di tahap unconscious competent individu mengalami sedikit kesukaran untuk menjelaskan struktur dari kebiasaannya, karena kemampuan tersebut telah menjadi suatu yang instingtif

- Hal ini mengharuskan individu untuk selalu mengevaluasi kemampuannya menggunakan standar yang diperbaharui (umumnya lebih tinggi).