Senin, 13 Oktober 2008

Conscious Competence Learning Model (CCLM)

Salah satu model yang paling elegan guna menjelaskan dinamika pembelajaran individu adalah Conscious Competence Learning Matrix (CCLM). Model ini dikembangkan oleh Gordon Training International (GTI) pada sekitar tahun 1970-an. CCLM menjelaskan proses dan tahapan dari proses pembelajaran suatu kemampuan baru (prilaku, teknik atau yang lainnya). Model ini sering pula disebut sebagai ‘conscious competence learning model’ atau ‘conscious competence ladder’. Apapun sebutannya, CCLM merupakan penjelasan paling sederhana mengenai bagaimana individu belajar sekaligus menjelaskan bahwa pembelajaran pada individu terjadi dalam tahapan. Dalam setiap program pelatihan di PRIMASTUDY, kami selalu mengacu pada model pembelajaran ini.

CCLM dibagi menjadi empat tahapan; tahap 1 – ‘unconscious incompetence’; dan tahap 2 – ‘conscious incompetence’; tahap 3 - ‘consicous competence’ dan tahap 4 – ‘unconscious competence’. Umumnya individu memulai proses pembelajarannya pada tahap 1 – ‘unconscious incompetence’, dan berakhir pada tahap 4 – ‘unconscious competence’, setelah melalui tahap 2 – ‘conscious incompetence’ dan tahap 3 - ‘consicous competence’.

Kebanyakan pengajar dan pelatih berasumsi bahwa individu pembelajar telah berada di tahap 2, dan mereka memfokuskan usahanya untuk pencapaian tahap 3. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah individu masih berada di tahap 1. Pelatih berasumsi bahwa individu telah menyadari keberadaan kemampuan, relevansi, kekurangan serta keuntungan yang ditawarkan dari akuisisi suatu kemampuan baru. Sementara yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya, individu masih berada di tahap 1 - unconscious competence – tidak memiliki berbagai hal tersebut, sehingga tentu saja tidak akan mampu mencapai tahap conscious competence. Di lain pihak, individu pun merasa bahwa dirinya tidak memiliki kekurangan atau kebutuhan pada kemampuan baru yang ditawarkan. Hal ini merupakan alasan utama dari kegagalan yang sering terjadi pada program pelatihan dan pengajaran.

Di PRIMASTUDY, dalam program pelatihan diberikan, kami menggunakan CCLM guna meminimalkan resiko yang mungkin muncul, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya .

Jika kesadaran akan kemampuan dan kekurangan relatif masih rendah atau bahkan tidak ada – misalnya individu berada pada kondisi unconscious incompetence – individu tidak mampu menyadari kebutuhan untuk belajar. Penting bagi pengajar untuk membangun kesadaran terkait kelemahan atau kebutuhan akan pelatihan yang ditawarkan (conscious incompetence) sebelum memberikan program pelatihan untuk memudahkan mengarahkan individu dari tahap 2 ke tahap 3.

Individu hanya merespon pada program pelatihan ketika telah menyadari kebutuhan akan program tersebut dan keuntungan personal yang dapat mereka peroleh.

Karakteristik masing-masing tahap

Perpindahan individu berawal dari kuadran 1 melalui kuadran 2, 3 dan berakhir di kuadran 4. Tidaklah mungkin melakukan lompatan tahapan yang dramatis, dari tingkat yang paling dasar menuju tingkat paling akhir. Namun demikian pada beberapa kemampuan, umumnya pada tingkat yang lanjut, sangat dimungkinkan bagi individu untuk mundur ke tahap sebelumnya, umumnya dari tahap 4 ke tahap 3, atau dari tahap 3 ke tahap 2, jika ia gagal melatih dan menguji kemampuan barunya. Individu yang mundur dari tahap 4, kembali ke tahap 3 dan 2, perlu mengembangkan kembali kemampuannya melalui tahap 3 guna mencapai tahap 4, unconscious competence. Pun demikian, pada beberapa jenis kemampuan, penguasaan hingga tahap 3, conscious competence dianggap telah cukup memadai.

Perkembangan dari tahap ke tahap sering kali diiringi dengan suatu sensasi pencerahan – ketika individu mendapati sensasi ‘aha’ – ketika individu merasa telah melakukan suatu lompatan besar.

Tentunya setiap individu memiliki preferensi. Setiap individu mendapati bahwa perkembangan ke tahap 3 atau tahap 4, lebih mudah pada beberapa kemampuan dibandingkan kemampuan lainnya. Beberapa individu ‘menolak’ berlanjut ke tahap 2, karena mereka menolak untuk menerima relevansi atau keuntungan dari suatu kemampuan. Tentu saja pada situasi ini individu tidak dapat berkembang ke tahap 3. Pelatih perlu menemukan strategi lain yang cocok untuk situasi ini.

Individu mengembangkan kompetensi hanya setelah mengenali relevansi dari ketidakmampuannya terkait suatu kemampuan.

Karakteristik dari masing-masing tahapan pembelajaran diberikan sebagai berikut:

Tahap 1: Unconscious incompetence

- Individu tidak menyadari kehadiran atau relevansi terkait suatu kemampuan

- Individu tidak memiliki kesadaran bahwa dirinya memiliki kekurangan terkait suatu kemampuan

- Individu mungkin menolak relevansi atau kegunaan dari suatu kemampuan

- Individu harus terlebih dahulu sadar akan ketidakmampuannya sebelum pengembangan kemampuan baru dapat dimulai

- Tujuan dari individu dan pelatih adalah memindahkan individu ke tahap ‘conscious competence’, dan menunjukan kebutuhan dan manfaat dari kemampuan baru

Tahap 2: Consicous incompetence

- Individu sadar akan keberadaan dan relevansi dari suatu kemampuan

- Individu sadar akan kekurangannya terkait kemampuan baru dan idealnya akan mencoba melakukannya

- Individu menyadari dengan memahami kemampuan baru yang ditawarkan dapat meningkatkan efektifitasnya

- Idealnya individu memiliki pemahaman mengenai kekurangannya pada suatu kemampuan dan pada level mana kemampuan tersebut dibutuhkannya.

- Individu idealnya membuat komitmen untuk mempelajari dan melatih kemampuan barunya, dan berpindah ke tahap selanjutnya, ‘conscious competence

Tahap 3: Conscious Competence

- Individu mampu melakukan kemampuan baru secara diniatkan

- Individu membutuhkan konsentrasi dan berpikir dalam melakukan suatu kemampuan

- Individu telah mampu melakukan suatu kemampuan tanpa dibantu

- Individu tidak akan mampu melakukan suatu kemampuan sebelum memikirkannya terlebih dahulu – kemampuan tersebut belum menjadi ‘kebiasaan baru’ atau dapat berlangsung secara otomatis

- Individu mampu melakukan suatu kemampuan dan mempertunjukannya pada individu lain, namun belum mampu mengajarkannya secara optimal

- Individu idealnya perlu terus melatih kemampuan barunya, dan melakukannya terus hingga ke tahap ‘unconscious competent

- Penggunaan berkelanjutan merupakan cara yang paling efektif untuk berlanjut dari tahap 3 ke tahap 4

Tahap 4: Unconscious competence

- Kemampuan telah menjadi sangat terlatih hingga mampu berpenetrasi ke pikiran luar sadar dan menjadi kebiasaan baru

- Contoh yang awam terkait tahapan ini adalah kemampuan menyetir, aktifitas olahraga, mengetik, keterampilan tangan, mendengarkan dan komunikasi

- Sangat dimungkinkan untuk melakukan suatu kemampuan sementara melakukan aktifitas lain, misalnya merajut sambil bernyanyi dan mendengarkan musik, melakukan pengingatan yang dramatis (melalui program Prima Memory dan PRIMASTUDY) sementara terlibat dalam perbincangan

- Individu mampu mengajarkan kemampuannya pada individu lain, walaupun setelah periode waktu tertentu di tahap unconscious competent individu mengalami sedikit kesukaran untuk menjelaskan struktur dari kebiasaannya, karena kemampuan tersebut telah menjadi suatu yang instingtif

- Hal ini mengharuskan individu untuk selalu mengevaluasi kemampuannya menggunakan standar yang diperbaharui (umumnya lebih tinggi).

Selasa, 08 Juli 2008

Penggambaran Dikaji Dari Psikologi Ilmiah

Ketika psikologi pertama kali muncul sebagai ilmu eksperimental pada departemen filosofi di berbagai universitas Jerman akhir abad ke-19, dan setelahnya berkembang ke Amerika Serikat, peranan utama dari penggambaran (imagery) pada kehidupan mental tidak lagi dipertanyakan. Bagi pelopor eksperimen ini, seperti Wilhelm Wundt di Jerman dan William James di Amerika, gambar mental (mental images) (dikenal sebagai ide, mengikuti penggunaan yang telah lama diyakini di tradisi filosofi empirik) memegang peranan utama yang sama pada penjelasan mengenai kognisi dan demikian juga pada psikologi filosofis di masa sebelumnya. Edward B. Titchener, salah seorang mahasiswa Wundt yang menjadi figur utama pada psikologi Amerika, sangat tertarik pada penggambaran dan eksperimen dilakukan oleh salah seorang mahasiswanya, C. W. Perky. Sering kali hal ini dianggap bahwa tidak ada perbedaan kualitatif berdasar eksperimen antara gambar mental (mental images) dan produk mental terkait stimulus eksternal (percept), namun investigasi lebih lanjut telah memunculkan keraguan mengenai kesimpulan ini.

Perkembangan di dunia psikologi pada permulaan abad ke-20 mulai memunculkan keraguan pada konsensus yang telah lama diyakini. Sekelompok psikolog yang bekerja di Würzburg, Jerman, dipimpin oleh mahasiswa Wundt lainnya, Oswald Külpe, mengklaim telah menemukan bukti empirik bahwa pemikiran sadar tertentu bersifat imajinatif atau perseptual. Hasil temuan mereka mengundang pertanyaan dari Wundt, Titchener dan lainnya, dan tidak pernah ternyatakan secara definitif. Namun demikian pertentangan yang terjadi, yang sering disebut sebagai kontroversi pemikiran tak bergambar (imageless thought), memiliki efek yang mendalam pada perkembangan psikologi ilmiah (dan juga pada bidang filosofi). Kebanyakan psikolog menjadi, sebagai efeknya, sangat disilusinasi dengan keseluruhan konsep mengenai penggambaran mental (mental imagery), dan menghindari secara sungguh-sungguh mengenai topik tersebut atau pada beberapa kasus yang ekstrim menyangkal keberadaannya. Prilaku ini secara nyata turut mempengaruhi bidang keilmuan yang lain, termasuk filosofi. Walaupun studi secara psikologis terkait penggambaran mental muncul kembali dengan kehadiran paham kognitif pada era 1960-an dan 70-an, ketika berbagai metode eksperimen baru bermunculan, pandangan dan penyikapan terhadap penggambaran mental tidak dapat dipahami secara baik tanpa memperhatikan aspek historis, versi yang mana sangat beragam akurasinya, dan telah berlanjut pada psikologi konvensional.

Aspek Niatan dari Penggambaran

Pada pendekatan yang lebih lazim, dengan sedikit sekali pengecualian (misalnya Wright, 1983), hampir semua diskusi mengenai penggambaran menerima sepenuhnya bahwa penggambaran terkait tentang, dari atau diarahkan pada sesuatu (Harman, 1998). Gambar mental (mental image) selalu merupakan gambaran dari sesuatu atau yang lain (apakah nyata atau tidak), selalu merupakan persepsi (apakah benar atau tidak) mengenai sesuatu (Anscombe, 1965). Kelebihan terkait aspek niatan inilah yang membuat penggambaran mental dianggap sebagai jenis dari representasi mental yang memainkan fungsi penting dalam proses pemikiran.

Juga umum diterima bahwa penggambaran pada kebanyakan bagian, dikendalikan secara sadar. Walaupun juga benar bahwa gambar sering muncul di pikiran secara spontan dan kadang sulit untuk mengubah penggambaran yang tidak diinginkan, contohnya kenangan mengenai sesuatu yang menyeramkan yang sering kali muncul di pikiran, kebanyakan individu hampir di setiap waktu dapat secara bebas dan sadar memunculkan dan memanipulasi penggambaran dari apapun yang disukai (dengan tentunya sebelumnya telah mengetahui penggambaran dari hal tersebut).

Ada juga pengalaman serupa-perseptual, seperti gambar yang muncul setelah stimulus visual berlalu (afterimages), yang mana bukan merupakan contoh dari pengendalian langsung dan memang tidak secara langsung menyatakan secara niat, namun hal ini umumnya (setidaknya secara implisit) dipahami sebagai fenomena unik yang berbeda dari penggambaran mental yang lazim.

Referensi

Wright, E. (1983). Inspecting Images. Philosophy (58) 57-72.

Harman, G. (1998). Intentionality. In W. Bechtel & G. Graham (Eds.), A Companion to Cognitive Science (hal. 602-610). Oxford: Blackwell.

Sabtu, 05 Juli 2008

Penggambaran dan Persepsi

Selain kerancuan yang telah diuraikan di bagian sebelumnya, terdapat pula kerancuan lain terkait dengan karakteristik penggambaran (imagery) seperti yang telah diuraikan di bagian pendahuluan. Jika penggambaran serupa dengan persepsi, maka pada derajat dan dimensi seperti apa suatu pengalaman dapat dikatakan sebagai penggambaran. Sementara penggambaran merupakan fenomena yang unik (sui generis), sehingga secara konsep berbeda dengan pengalaman perseptual, ataukah penggambaran dan persepsi hanya berbeda pada derajat dan bukan pada jenisnya.

Beberapa filusuf seperti Hume (1740), meyakini persepsi (dalam terminologinya impresi (impressions)) dan gambar (ideas) tidak berbeda dalam jenis, namun hanya penyebabnya secara historis dan derajat kejelasannya (vividness). Pandangan ini telah sering kali dikritik, yang terkini McGinn (2004). Penjelasan alternatif yang secara implisit tercantum pada banyak diskusi (dan dipertahankan secara eksplisit oleh Thomas (1997a, 1999b; simak juga Jastrow, 1899)), bahwa penggambaran terletak pada salah satu ujung spektrum yang merentang dari persepsi yang pasti, sangat dikendalikan oleh stimulus atau terkait dengan stimulus, pada satu sisi, dan pada sisi yang lain terdapat penggambaran “murni”, dimana isi dari pengalaman dihasilkan sepenuhnya oleh subjek dan lebih dikendalikan secara independen dari pengaruh stimulus. Beberapa ragam dari pengalaman perseptual imaginatif dapat saja dipilih untuk mengisi kontimum antara kedua ekstrim ini: persepsi yang keliru atau ilusif (membayangkan, contohnya semak-semak terlihat dalam kegelapan sebagai beruang), dan berbagai tipe dari melihat sebagai (seeing as) atau melihat pada (seeing in) yang bersifat tidak rancu (non-deceptive seeing), seperti membayangkan bahwa awan serupa bentuknya dengan unta atau ikan paus; melihat kesedihan di mata individu, atau melihat gambar rancu seperti yang diberikan pada contoh berikut.

Namun bagi filusuf yang lainnya seeperti Sartre (1936), Wittgenstein (1961), dan McGinn (2004) berargumentasi bahwa terdapat perbedaan konseptual yang tajam dan fenomenologis antara penggambaran dan persepsi. Lagi pula, seperti yang diargumentasikan pembayangan berada di bawah kendali individu dan tidak seperti persepsi. Jika individu diberikan penggambaran mengenai gajah, maka individu tersebut dapat membayangkan gajah kapanpun dan di manapun ketika ia menginginkannya. Namun ia tidak dapat memilih untuk melihat gajah kecuali ada gajah yang benar-benar ada didepannya. Konstrasnya, jika ada gajah di depannya maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali melihatnya, terlepas dari apakah ia menginginkan atau tidak.

Lebih lanjut, diklaim (dalam perbedaan yang lebih tajam dibandingkan persepsi) individu tidak bisa menghasilkan informasi baru mengenai dunia melalui penggambarannya. Tidak ada gambar yang dapat mengandung apapun kecuali apa yang diletakan oleh si penggambar, yang mana pastilah telah ada di pikirannya ((Sartre, 1940; Wittgenstein, 1961). Namun pandangan negatif mengenai aspek epistemologi dari penggambaran ditolak oleh Kosslyn (1980, 1983), dan argumen yang diberikan oleh Sartre dan Wittgenstein pada hal ini telah dibantah pada detail yang diberikan oleh Taylor (1981).[2] McGinn (2004) yang berargumen bahwa walaupun Sartre dan Wittgenstein telah menyatakan pandangannya, terdapat pandangan yang asli dan penting yang melandasi apa yag mereka sampaikan. Informasi yang dihasilkan atau didapat dari penggambaran adalah berbeda dan dari jenis yang berbeda dengan informasi yang didapatkan melalui persepsi.

Referensi

Hume, D. (1740). A Treatise of Human Nature. (edisi ke-2 Oxford, editor L.A. Selby-Bigge & P.H. Nidditch. Oxford: Oxford University Press, 1978.)

McGinn, C. (2004). Mindsight: Image, Dream, Meaning. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Thomas, N.J.T. (1997a). Imagery and the Coherence of Imagination: a Critique ofWhite. Journal of Philosophical Research, (22) 95-127.

Thomas, N.J.T. (1999b). Are Theories of Imagery Theories of Imagination? AnActive Perception Approach to Conscious Mental Content. Cognitive Science (23)207-245.

Jastrow, J. (1899). The Mind's Eye. Appleton's Popular Science Monthly (54)299-312.

Sartre, J.-P. (1936). Imagination: A Psychological Critique. (Terjemahan dari bahasa Perancis oleh F. Williams, Ann Arbor, MI: University of Michigan Press, 1962.)

Sartre, J.-P. (1940). The Psychology of Imagination. (diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh B. Frechtman, New York: Philosophical Library, 1948.)

Wittgenstein, L. (1961). Zettel. (Editor G.E.M. Anscombe & G.H. von Wright; terjemahan G.E.M. Anscombe.). Oxford: Blackwell.

Kosslyn, S.M. (1980). Image and Mind. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Kosslyn, S.M. (1983). Ghosts in the Mind's Machine: Creating and Using Images in the Brain. New York: Norton.

Taylor, P. (1981). Imagination and Information. Philosophy and Phenomenological Research (42) 205-223.

Jumat, 04 Juli 2008

Pengalaman atau Representasi?

Pada bagian sebelumnya, agar tidak terlalu dini dalam menerima teori gambar (picture theory), dan sehubungan dengan definisi yang diberikan oleh para psikolog seperti McKellar (1957), Richardson (1969) dan Finke (1989), penggambaran mental dikarakterisasi sebagai suatu bentuk dari pengalaman (contohnya seperti pada hal (1)). Namun hal ini tidaklah dengan serta-merta menyelesaikan kerancuan yang ada. Berbagai bukti yang disajikan mengenai penggambaran mental lebih bersifat subjektif dan introspektif sehingga berpotensi memunculkan keraguan terhadap validitas dari introspeksi yang diberikan. Mereka yang sangat berpegang pada metode ilmiah, dapat saja berfokus pada pertanyaan apakah konsep seperti penggambaran (imagery) dapat diterima dalam dunia ilmiah. J. B. Watson, seorang peneliti yang paling berpengaruh dari paham prilaku (behaviorist), paham yang mendominasi keilmuan psikologi ilmiah (utamanya di Amerika Serikat) pada abad ke-20, mempertanyakan keberadaan dari penggambaran seperti yang tertera pada berbagai karyanya (Watson, 1913a). Walaupun demikian beberapa psikolog dan filusuf setelahnya diliputi oleh keraguan terkait penggambaran (imagery) (jika tidak terkait pada eksistensinya, setidaknya pada aspek psikologinya). Penggambaran belum menjadi fokus yang ramai dibicarakan di kalangan psikolog ilmiah (atau filusuf psikologi) hingga era tahun 1960-an, ketika paham prilaku mulai tergantikan oleh paham kognitif sebagai paradigma dominan dalam psikologi. Diskusi yang paling menonjol terkait dengan penggambaran di antara filusuf dan psikolog, masih sangat dipengaruhi oleh keraguan pada penggambaran (atau iconophobia, istilah yang sering digunakan), dan berbagai reaksi terkait.

Kontras dengan psikolog paham prilaku yang lebih dulu, kebanyakan psikolog kognitif saat ini menyakini bahwa penggambaran memiliki peranan yang sangat penting pada ekonomi mental individu. Banyak mungkin menyatakan keberatan pada para psikolog paham prilaku mereka terkait dengan penerimaan sains terhadap introspektif dan subjektifitas, namun mereka menyakini bahwa penggambaran pastilah nyata (dan secara ilmiah sangat menarik untuk ditelaah) karenanya sangat penting untuk diuraikan. Hasil dari banyak eksperimen pada fungsi kognitif yang mereka yakini, tidak dapat memberikan penjelasan yang memuaskan tanpa mempertimbangkan pada aspek penyimpanan dan pemrosesan dari representasi mental imaginatif. Keyakinan bahwa representasi mental adalah nyata dijustifikasi serupa dengan keyakinan pada keberadaan elektron, atau seleksi alamiah (Darwin), atau medan gravitasi (atau berbagai aspek ilmiah yang masuk ke dalam kategori “tidak dapat terobservasi (unobservables)”). Penggambaran dipahami keberadaannya jika penjelasan yang didasarkan pada representasi imajiner diketahui kebenarannya. Melalui pemandangan ini, beberapa penulis terkini telah merekomendasikan terminologi ‘penggambaran’ (‘imagery’) tidak seharusnya dipahami seperti bentukan pengalaman subjektif, melainkan sebagai bentuk ‘representasi yang mendasari’ (“underlying representation”) (Block, 1981a; Kosslyn, 1983). Representasi demikian merupakan “mental” di mana kini awam di bidang sains kognitif; misalnya mereka dipahami sebagai bagian yang menyatu dengan kondisi otak, namun sangat individual terkait dengan fungsinya dalam kognisi. Seperti yang disampaikan oleh Block (1981a), keuntungan dari mendefinisikan penggambaran mental seperti ini (misal sebagai bentukan representasi yang tidak dispesifikasi, seperti hal (3) dibandingkan hal (2), adalah hal ini tidak terkait dengan pertanyaan kontroversial apakah representasi yang relevan terkait dengan berbagai hal, menyerupai gambar (picture-like).

Jika bukan karena mereka menyerupai gambar, lalu pertanyaannya adalah apa yang membuat gambar representasi mental? Kemungkinan ide yang menyatakan bahwa representasi mental layak disebut sebagai gambar jika tipe tersebut hadir di pikiran dapat memunculkan pengalaman serupa-perseptual dari yang direpresentasikan. Namun hal ini sangat bergantung pada pemahaman pembentukan eksperensial (experential conception of imagery) dari penggambaran yang mana pasti lebih mendasar dibandingkan pembentukan representasi (represenational conception) yang digambarkan. Lebih lanjut, untuk mendefinisikan penggambaran dalam cara Block, Kosslyn dan lainnya menyarankan, bentukan pertama dan yang terpenting dari representasi (seperti explanans, penyataan yang menjelaskan, dibandingkan explanandum, pernyataan yang dijelaskan) adalah pada pertanyaan yang lebih mendasar dan kontroversial seputar karakteristik alamiah dari pikiran dan penyebab dari pengalaman serupa-perseptual. Faktanya terdapat sejumlah ilmuwan dan filusuf, dari berbagai latar belakang keilmuan dan pemandangan teori yang menyatakan bahwa pengalaman penggambaran tidaklah bisa dinyatakan kehadirannya di pikiran dalam terminologi komputasional atau representasi neural (e.g., Sartre, 1940; Ryle, 1949; Skinner, 1953).

Harus diakui bahwa berfokus terlalu sempit pada pembentukan eksperensial (experensial conception) dari penggambaran beresiko. Secara khusus hal ini mungkin mengkaburkan kemungkinan nyata yang didukung oleh pembentukan representasional, yang sama pentingnya dengan representasi yang melandasi atau mekanisme mungkin bekerja pada keduanya, saat kita secara sadar mengalami pengalaman tersebut dan ketika kita tidak sadar. Beberapa bukti, seperti karya Paivio's (1971) pada pengingatan dari kata-kata dengan “nilai penggambaran” yang berbeda, mendukung akan hal ini.

Dalam prakteknya, eksperensial dan pembentukan representasi dari penggambaran beberapa kali ditemui pada literatur dari subjek. Sayangnya, sering kali sulit untuk menyatakan yang mana yang ditujukan untuk kasus yang mana. Bahkan ketika mereka tidak menyatu, kerancuan dapat muncul ketika satu konsepsi lebih diutamakan dibanding yang lain tanpa menjadikan benar-benar jelas atau eksplisit. Walaupun hal ini nampak menonjolkan keilmuan dan berpotensi membingungkan untuk memaksakan penggambaran eksplisit perbedaan di manapun, di mana nampaknya penting atau membantu untuk melakukan hal ini merujuk pada pengalaman penggambaran (imagery experiences) pada satu sisi dan representasi penggambaran (imagery representation) pada yang lainnya.

Referensi

McKellar, P. (1957). Imagination and Thinking. London: Cohen & West.

Richardson, A. (1969). Mental Imagery. London: Routledge & Kegan Paul.

Finke, R.A. (1989). Principles of Mental Imagery. Cambridge, MA: MIT Press.

Watson, J.B. (1913a). Psychology as the Behaviorist Views It. Psychological

Review (20) 158-177. Cetak ulang tersedia di internet

Block, N. (Ed.) (1981a). Imagery. Cambridge, MA: MIT Press.

Kosslyn, S.M. (1983). Ghosts in the Mind's Machine: Creating and Using Images in the Brain. New York: Norton.

Sartre, J.-P. (1940). The Psychology of Imagination. (Translated from the French by B. Frechtman, New York: Philosophical Library, 1948.)

Ryle, G. (1949). The Concept of Mind. London: Hutchinson.

Skinner, B.F. (1953). Science and Human Behavior. New York: The Free Press.

Paivio, A. (1971). Imagery and Verbal Processes. New York: Holt, Rinehart and

Winston. (Republished in 1979 – Hillsdale, NJ: Erlbaum.)

Kamis, 03 Juli 2008

Penggambaran Mental (Mental Imagery)

Guna memahami pengalaman yang terjadi dalam keseharian, individu membentuk representasi mental terkait dengan pengalamannya. Mekanisme pembentukan representasi mental telah lama menjadi topik yang menarik di kalangan peneliti bidang keilmuan kognitif. Berbagai studi mengenai hal ini, baik yang terjadi di masa lalu dan masa kini, terus berusaha memberikan penjelasan mulai dari mekanisme pembentukannya hingga manfaat dari representasi mental dalam kehidupan. Uraian berikut memberikan perjalanan kronologis terkait dengan pemahaman manusia mengenai representasi mental.

Definisi Representasi Mental

Representasi mental sangat erat hubungannya dengan pembentukan pengalaman di pikiran, yang umumnya terkait dengan proses penggambaran mental. Penggambaran mental (mental imagery) (yang dalam keseharian sering disebut dengan istilah “visualisasi”, “melihat dengan mata mental”, “mendengar (di) dalam kepala”, “membayangkan rasa” atau yang lainnya) merupakan pengalaman serupa-perseptual (quasi-perceptual), namun terjadi tanpa adanya stimulus eksternal. Pengalaman perseptual merupakan pengalaman yang terjadi di luar pikiran individu yang dapat dipahami (perceive) melalui panca indra. Penggambaran mental sering diyakini pula terjadi secara diniatkan, contohnya gambaran mental selalu merupakan gambar dari sesuatu, sehingga merupakan salah satu bentuk representasi secara mental. Pemahaman sebelumnya mengenai penggambaran mental secara visual, bentukan representasi yang paling sering diulas, diyakini disebabkan oleh kehadiran gambar yang menyerupai representasi (gambaran mental) di pikiran, jiwa atau otak, namun pemahaman tersebut tidak lagi diterima secara universal.

Sering kali pengalaman visual dipahami terkait dengan subjeknya seperti melalui gema, imitasi atau rekonstruksi dari pengalaman perseptual orisinal yang terjadi di masa lalu; ada pula mengenai kemungkinan pengalaman perseptual di masa depan yang diinginkan atau pun yang dihindari. Sehingga penggambaran diyakini sangat memainkan peranan yang sangat penting dalam pembentukan ingatan (Yates, 1966; Paivio, 1986) dan motivasi (McMahon, 1973).berbagai aspek lainnya dalam hidup individu. Juga diyakini memainkan peranan yang penting dalam proses berpikir visual-spasial, penciptaan/penemuan atau pemikiran kreatif. Menurut filosofi tradisional, penggambaran visual memainkan fungsi yang penting pada seluruh proses pemikiran dan menyediakan landasan semantik bagi bahasa. Pada abad ke-20 berbagai penolakan yang cukup serius dikemukakan pada filosofi ini, sehingga kini keberadaannya tidak lagi diakui.

Makna dan konotasi dari penggambaran mental

Penggambaran mental merupakan aspek keseharian dari pengalaman individu (Galton 1880). Sedikit individu yang menyatakan bahwa dirinya jarang atau bahkan tidak pernah secara sadar mengalami penggambaran mental (Galton, 1880). Bagi mayoritas individu hal ini merupakan karakteristik umum terkait dengan pengalaman yang terjadi di pikiran. Bahasa pun menyajikan kosa kata terkait dengan pengalaman ini, seperti; ‘visualisasi’, ‘melihat melalui mata mental’, ‘mendapatkan gambar di pikiran’, ‘pengambaran’, ‘melihat gambaran mental’ dan lainnya. Sangat sedikit jumlah mekanisme yang membahas mengenai fenomena serupa penggambaran pada modus sensorik lainnya, dan terdapat sedikit keraguan apakah hal tersebut dapat terjadi. Pengalaman serupa-penggambaran melalui modus sensorik selain visual sering dinyatakan sebagai ‘pembayangan’ (imagining) seperti sensasi rasa, aroma atau rasa pengecapan. Secara alternatif, karakteristik serupa-perseptual (quasi-perceptual) terhadap pengalaman perseptual dapat dinyatakan menggunakan bahasa sensorik yang berpadanan, contohnya ‘melihat’, ‘mendengar’, ‘merasakan’ atau yang lainnya.

Terlepas dari familiaritas dalam pengalaman, arti sesungguhnya dari ekspresi ‘penggambaran mental’ (mental imagery) relatif sulit untuk dinyatakan secara definitif dan perbedaan pemahaman terkait hal ini sering kali menambah kerancuan yang telah ada pada perdebatan panjang dan kompleks di kalangan filusuf, psikolog, dan ilmuwan bidang kognitif lainnya mengenai karakteristik dari penggambaran yang terjadi, fungsi psikologisnya (jika ada), bahkan pada keberadaannya penggambaran itu sendiri. Pada literatur filosofis dan ilmiah, ekspresi dari ‘penggambaran mental’ digunakan pada berbagai hal berikut (sering kali dinyatakan secara eksplisit):

(1) Pengalaman sadar yang serupa-peseptual

(2) Representasi menyerupai gambar yang bersifat hipotesis di pikiran dan/atau di otak yang memunculkan hal (1)

(3) Representasi internal dari berbagai jenis (menyerupai gambar atau lainnya) yang secara langsung memunculkan hal (1)

Telah banyak diskusi terkait dengan penggambaran mental visual yang gagal memberikan perbedaan definitif antara keyakinan bahwa individu memiliki pengalaman serupa-visual (quasi-visual) dan keyakinan bahwa pengalaman tersebut perlu dijelaskan dengan keberadaan representasi di pikiran atau di otak, yang mana pada beberapa aspek dapat menyerupai gambar. Teori gambar (pictorial theory) mengenai penggambaran secara mendalam terpatri dalam bahasa dan psikologi populer. Bahkan kota kata ‘image’ (bentukan dasar dari ‘imagine’, ‘imagining’) menyiratkan keberadaan gambar. Walaupun mayoritas dari individu dan para pakar kemungkinan tetap terus menerima sebagian dari teori gambar, banyak filusuf dan psikolog dari abad ke-20, dengan berbagai latar belakang teori, berargumen menentang hal tersebut. Bahkan pada beberapa kasus, mereka telah mengembangkan alternatif lain yang cukup mendetil, karakteristik tanpa gambar dan penyebab dari pengalaman penggambaran (imagery experience) (e.g., Sartre, 1940; Ryle, 1949; Pylyshyn, 1973, 1981, 2002a; Neisser, 1976; Slezak, 1995; Thomas, 1999b). Berbagai pihak lain juga perlu dicantumkan yang telah mengembangkan dan mempertahankan teori gambar secara memuaskan dalam menjawab berbagai kritik tersebut, misalnya Kosslyn, 1980, 1994; Tye, 1991. Namun terlepas dari berbagai pengembangan tersebut, banyak dari diskusi filosofi dan ilmiah mengenai penggambaran dan fungsi kognitif dapat atau tidak didasarkan pada asumsi yang sering kali tidak ternyatakan (dan tidak teruji), jika ada penggambaran mental, hal itu harus melibatkan gambar internal.

Bentukan lain di mana ekspresi ‘penggambaran mental’ (bersama dengan berbagai sinonimnya dalam keseharian) dapat saja salah arah, bahwasannya hal tersebut cenderung mengacu hanya pada fenomena serupa-visual (quasi-visual). Terlepas dari kenyataan bahwa kebanyakan diskusi ilmiah terkait dengan penggambaran, yang terjadi di masa lampau dan masa kini, berfokus secara ekslusif hanya pada modus visual, namun pengalaman serupa-perseptual (quasi-perceptual) pada modus sensorik lainnya juga sama nyatanya dan sering kali seawam dan sama pentingnya ditinjau dari aspek psikologis. Para peneliti bidang kognitif kontemporer secara umum mengenali hal ini, dan studi yang menarik dari penggambaran audio (auditory imagery), penggambaran kinestetik (kinaesthetic (or motor) imagery), penggambaran aroma (olfactory imagery), penggambaran sentuhan (haptic (touch) imagery) dan lainnya, dapat dijumpai pada beberapa literatur ilmiah terkini. Namun berbagai studi tersebut masih lebih sedikit secara kuantitas dibandingkan studi yang terkait dengan penggambaran secara visual. Namun demikian ‘penggambaran’ telah menjadi terminologi yang diterima, diantara ilmuwan kognitif, untuk pengalaman serupa-perseptual pada berbagai modus pengindraan (atau kombinasi di antara berbagai modus pengindraan).

Referensi:

Yates, F.A. (1966). The Art of Memory. London: Routledge and Kegan Paul.

Paivio, A. (1986). Mental Representations: A Dual Coding Approach. New York: Oxford University Press.

McMahon, C.E. (1973). Images as Motives and Motivators: A Historical Perspective. American Journal of Psychology (86) 465-90.

Galton, F. (1880). Statistics of Mental Imagery. Mind (5) 301-318. Cetak ulang tersedia di internet

Sartre, J.-P. (1940). The Psychology of Imagination. (Terjemahan dari bahasa perancis by B. Frechtman, New York: Philosophical Library, 1948.)

Ryle, G. (1949). The Concept of Mind. London: Hutchinson.

Pylyshyn, Z.W. (1973). What the Mind's Eye Tells the Mind's Brain: A Critique of Mental Imagery. Psychological Bulletin (80) 1-25.

Pylyshyn, Z.W. (1981). The Imagery Debate: Analogue Media Versus Tacit Knowledge. Psychological Review (88) 16-45.

Pylyshyn, Z.W. (2002a). Mental Imagery: In search of a theory. Behavioral and Brain Sciences (25) 157-182 (-237 including commentaries and reply). Cetak ulang tersedia di internet.

Neisser, U. (1976). Cognition and Reality. San Francisco, CA: W.H. Freeman.

Slezak, P. (1995). The “Philosophical” Case Against Visual Imagery. In P. Slezak,

T. Caelli, & R. Clark (Eds.) Perspectives on Cognitive Science: Theories, Experiments and Foundations. Norwood, NJ: Ablex.

Thomas, N.J.T. (1999b). Are Theories of Imagery Theories of Imagination? An Active Perception Approach to Conscious Mental Content. Cognitive Science (23)

207-245. Cetak ulang tersedia di internet.

Kosslyn, S.M. (1980). Image and Mind. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tye, M. (1991). The Imagery Debate. Cambridge, MA: MIT Press.

Selasa, 10 Juni 2008

Piramida, Teknologi Misterius





















Pendahuluan

Piramida, salah satu struktur bangunan peninggalan peradaban masa lampau, ternyata memiliki banyak manfaat yang belum seluruhnya terkuak oleh ilmu pengetahuan saat ini. Faktanya bangsa Mesir tidak menggunakan piramida sebatas makam atau tempat penyembahan (temple), melainkan mereka telah mengetahui manfaat piramida dalam kaitannya dengan konservasi energi.

Mungkin hal ini dapat menerangkan fenomena mengapa banyak terdapat piramida di luar Mesir, kontras dengan keyakinan pada kebanyakan individu yang beranggapan bahwa piramida secara ekslusif hanya terdapat di Mesir. Ilustrasi di atas menyajikan uraian singkat mengenai keberadaan piramida di luar Mesir.





Piramida ternyata memberikan manfaat juga bagi kesehatan. Klaim yang saat ini beredar adalah karena piramida merupakan salah satu mekanisme negative ion generator yang mampu menghasilkan ion negatif, penyeimbang ion positif yang merupakan dampak dari polusi.

Ion negatif merupakan molekul yang tidak berwarna dan berbau yang masuk ke saluran pernafasan manusia saat bernafas. Konsentrasi tinggi dari ion negatif dapat ditemukan di pengunungan, air terjun dan pantai di mana individu merasakan tambahan energi dan bebas dari stres dan meningkatkan energi. Ion negatif meningkatkan aliran oksigen ke otak sehingga meningkatkan kewaspadaan mental, mengeliminir ketidaknyaman dan meningkatkan energi seperti yang diuraikan oleh Pierce J. Howard, PhD., penulis buku The Owners Manual for the Brain: Everyday Applications from Mind Brain Research, yang juga merupakan Direktur Riset di Center for Applied Cognitive Sciences di Charlotte, North Carolina.

Ion negatif juga dapat melindungi individu dari kuman yang ada di udara, sehingga menurunkan iritasi yang disebabkan dari menghirup berbagai partikel yang mengakibatkan bersin, batuk atau iritasi tenggorokan. AC (Air Conditioner) menurunkan jumlah ion negatif, namun piramida melepaskan kembali ion yang hilang akibat AC.

Ion negatif diciptakan di alam dari molekul udara yang dipecah oleh sinar matahari, radiasi dan udara atau air yang mengalir. “Aktifitas gelombang yang terus mengalir menciptakan ion negatif di udara dan kita segera dapat menyadarinya setelah hujan ketika individu melaporkan merasa peningkatan mood.” demikian yang diuraikan oleh peneliti ion Michael Terman, PhD, dari Columbia University, New York. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Columbia University, 25 orang dengan SAD (Seasonal Affective Depression) duduk di depan pemurni udara ion negatif selama setengah jam setiap pagi selama satu bulan. Setengah dari subjek diberikan ion negatif pada tingkat rendah sementara sebagian lagi diberikan ion negatif pada tingkat yang tinggi. Kesimpulan dari eksperimen menyatakan bahwa ion negatif sangat efektif untuk menangani SAD tanpa efek samping seperti yang umum dijumpai pada berbagai obat antidepressant seperti prozac dan zolof.

Kebanyakan partikel udara memiliki muatan positif atau terionisasi positif, sementara ion negatif memiliki muatan negatif. Ion negatif tertarik pada partikel positif melalui mekanisme magnetik di mana muatan yang berlawanan saling tarik menarik. Ketika terdapat konsentrasi tinggi dari ion negatif, mereka segera menarik partikel yang terapung dalam jumlah yang besar. Akibatnya partikel tersebut terlalu berat untuk terus mengapung di udara dan terjatuh sehingga menjauh dari zona pernafasan. Hal ini tentunya menghindarkan individu dari berbagai masalah pernafasan dan kesehatan. Setelahnya partikel polutan ini dapat dikumpulkan melalui mekanisme pembersihan lebih lanjut, seperti pemvakuman dan lainnya. Sekiranya partikel tersebut kembali ke udara, dalam waktu singkat mengalami mekanisme yang sama kembali berulang.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, ion negatif secara alami dihasilkan di alam, seperti di pegunungan, air terjun, pantai dan lainnya. Namun kondisi “Hutan Beton” saat ini meminimalkan produksi alami dari ion negatif. Sehingga untuk mencegah berbagai efek buruk yang telah diuraikan diatas, setiap individu membutuhkan kemampuan untuk menghasilkan kembali ion negatif sebagai penyeimbang.

Pembuktian Ilmiah

Banyak studi ilmiah terkait dengan piramida. Salah satu studi ilmiah terkait dengan manfaat piramida bagi kesehatan salah satunya dilakukan di Melaka Manipal Medical College (Manipal Campus), India. Studi yang dilakukan oleh Dr. Bharathi di bawah supervisi Dr. Dilip Murthy dari departemen fisiologi. Dalam penelitiannya, Dr. Bhrathy menempatkan tikus di dalam model piramida yang berbahan kayu.

Penilitian lain juga dilakukan oleh Dr. Surekha R. Kamath yang masih berasal dari lingkungan departemen physiology. Di bawah supervisi Dr. S. Gurumadhva Rao yang merupakan profesor farmakologi, Dr Surekha R. Kamath memusatkan studinya pada kesembuhan luka pada tikus.

Penilitian lain juga dilakukan oleh Dr.Surekha Bhat dan Dr. Guruprasad Rao, di bawah supervisi dari Dr. P. Gopalakrishna Bhat, profesor di bidang biokimia bersama rekan pembimbing Dr. K. Dilip Murthy.

Penelitian difokuskan untuk mempelajari pengaruh piramida terhadap tingkat stress pada tikus. Dengan cara menempatkannya di dalam piramida. Plasma kortisol digunakan sebagai parameter stress pada sel neuroendocrine, erythrocyte TBARS sebagai indikator dari lipid peroxidation dan level erythrocyte GSH dan erythrocyte GSH-Px dan aktifitas SOD sebagai indikator dari pertahan terhadap antioksidan. Sebagai tambahan terkait dengan pengujian terhadap struktur, dilibatkan pula struktur kubus yang memiliki dimensi sama dengan piramida.

Adapun kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Dr.Surekha Bhat bersama Dr. Guruprasad Rao diuraikan sebagai berikut:

1. Durasi pemaparan piramida pada objek merupakan faktor terpenting untuk mendapatkan manfaat terkait dengan kesehatan. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal perlu dicari waktu yang optimal untuk pemaparan, tidak terlalu lama dan juga tidak terlalu singkat.

2. Keselarasan dengan kutub-kutub magnet bumi sangat penting untuk mendapatkan efek yang signifikan. Deviasi posisi sangat mempengaruhi efek dari piramida.

3. Menempatkan tikus di dalam piramida menurunkan level stress pada sel neuroendocrine dan stress oksidatif pada tikus muda maupun tua pada kedua jenis kelamin. Walau demikian variasi jenis kelamin berpengaruh pada hasil dari eksperimen ini. Paparan pada piramida menurunkan level basal dari plasma kortisol di kebanyakan tikus jantan, stress oksidatif yang turun justru ditemukan pada kebanyakan tikus betina.

4. Pemamaran piramida menyebabkan pertambahan berat tubuh pada tikus betina, tua dan muda namun tidak terjadi pada tikus jantan.

5. Piramida bertindak sebagai anti-stressor selama stress.

6. Paparan pada piramida lebih efektif dalam menurunkan stress pada sel neuroendocrine dan lipid peroxidation pada musim dingin dibandingkan pada musim panas. Pemaparan pada piramida akan lebih efektif dalam menurunkan aktifitas enzim antioksidan pada musim panas dibandingkan pada musim dingin.

7. Penambahan bobot tubuh lebih nampak pada musim dingin.

8. Berbagai temuan tersebut tidak ditemukan pada bentukan kotak dengan dimensi yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa strutur piramida bertanggung jawab pada berbagai efek tersebut.

Pembuktian sederhana

Guna mendapatkan pengalaman langsung terkait efek yang dihasilkan oleh piramida, saya melakukan eksperimen sederhana. Tujuan utama dari eksperimen ini adalah mendapatkan bukti empirik mengenai efek yang dihasilkan piramida pada objek organik. Alat dan bahan yang digunakan pada eksperimen ini adalah model piramida gizeh (terbuat dari besi) dan 3 buah pisang dari tandan yang sama (yang diberi label 1, 2 dan 3).

Dalam eksperimen ini saya menempatkan pisang #1 tepat di tengah piramida dan meninggalkannya selama periode waktu tertentu. Sebagai pembanding saya menempatkan pisang #2 di luar piramida namun masih dalam ruangan yang sama dengan pisang #1. Sementara pisang #3 diletakan di ruangan lain (tanpa piramida).

Setelah periode waktu yang ditentukan, terjadi perbedaan pada ketiganya. Pada pisang #2 dan #3 terjadi pertumbuhan jamur yang sangat banyak, utamanya pada pisang #3. Hal yang mengejutkan adalah pada pisang pertama tidak didapati jamur. Terdapat pula perubahan fisik lainnya berupa perbedaan tingkat kekenyalan, dimana pisang #1 adalah pisang terkenyal dibandingkan ketiganya sementara pisang #3 adalah memiliki tingkat kekenyalan terendah (ektrim minimum), disertai dengan cairan disekitar pisang. Perubahan fisik lainnya yang dapat diamati adalah perubahan warna, dimana pisang #3 memiliki warna paling hitam dibandingkan kedua pisang lainnya.

Guna lebih menjelaskan hasil eksperimen, berikut diberikan ilustrasi gambar terkait dengan eksperimen yang dilakukan.


Sigifikansi hasil studi

Uraian diatas membawa signifikansi pada kehidupan keseharian sebagai berikut:

1. Paparan pada piramida merupakan metode yang efektif untuk mengatur stres. Guna mengefektifkan hal ini, struktur piramida dapat dibangun pada tempat-tempat aktifitas individu seperti kantor, rumah atau tempat rekreasi. Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah menempatkan model piramida di sekitar tempat aktifitas individu.

2. Piramida dapat digunakan sebagai penangan invasif pada berbagai penyakit yang terkait dengan aktifitas dari radikal bebas dan jenis oksigen reaktif. Kini telah banyak kasus serupa yang terbantu oleh piramida. Uraian di atas merupakan salah satu bukti ilmiah terkait dengan hasil tersebut.

3. Berkaitan dengan durasi dari pemaparan pada piramida, individu perlu mencari tahu durasi optimal pada masing-masing kasus. Hal ini ditujukan untuk mengatasi efek ketidaknyamanan yang mungkin disebabkan karena pemamparan berlebihan pada piramida.

Model Piramida

Mengetahui manfaat tersebut kini di pasaran banyak tersedia model piramida. Guna mendapatkan efek optimal dari piramida, model yang dibuat perlu mengacu pada dimensi dari the Great Pyramid of Gizeh. Presisi dan akurasi model sangat berpengaruh bagi manfaat yang diberikan. Manfaat dari piramida umumnya didapatkan melalui pemamaran pada piramida, meletakan suatu objek di dalam piramida selama durasi waktu tertentu.

Terkait dengan fungsinya sebagai penghasil ion negatif, adapun bahan yang tepat untuk membuat piramida adalah kuarsa. Namun kelemahan dari piramida yang berbahan kuarsa adalah dari segi kekuatannya terkait dengan resiko kerusakan fisik yang disebabkan oleh benturan. Selain kuarsa, material lain yang baik adalah logam, utamanya logam mulia. Selain baik untuk menghasilkan ion negatif, piramida berbahan metal juga memiliki kekuatan terhadap resiko benturan fisik. Sehingga hal ini menjawab kelemahan yang dimiliki oleh piramida berbahan kuarsa.

Daftar Pustaka

1. Surekha Bhat, Guruprasad Rao, K. Dilip Murthy, P Gopalakrishna Bhat. Effect of housing rats within a pyramid on stress parameters. Indian Journal of Experimental Biology 2003; 41: 1289-1293.

2. Surekha Bhat, Guruprasad Rao, K. Dilip Murthy, P Gopalakrishna Bhat. Housing in pyramid counteracts neuroendocrine and oxidative stress caused by chronic restraint in rats. Evidence Based Contemporary and Alternative Medicine 2006

3. Pierce Howard. The Owners Manual for the Brain: Everyday Applications from Mind Brain Research, second edition, Bard Press 1999